Kadipaten Pakualaman
( Puro Pakualam )
Pada
1811, kekuasaan kolonial
Belanda-Prancis di Pulau
Jawa direbut oleh
Inggrisdengan
Kapitulasi Tuntang 11 Agustus 1811, dan Inggris mengutus
Sir Thomas Stamford Raffles untuk memimpin koloni ini dengan jabatan
Letnan Gubernur Jenderal. Raffles berusaha mendapat dukungan dari para penguasa lokal, salah satunya Sultan HB II (yg dikenal sebagai Sultan Sepuh). Ia mengutus
Captain Robinson ke
Yogyakarta untuk mengembalikan HB II ke tahtanya dan dan menurunkan RM Suryo (HB III) kembali menjadi putra mahkota dengan gelar Kanjeng Pangeran Adipati Anom pada 10 Desember 1811.
Sampai di sini ada 2 versi mengenai peran Pangeran Notokusumo dalam ontran-ontrandi Kasultanan Yogyakarta menurut sejarahwan KPH Sudarisman Poerwokoesoemo, mantan Wali kota ke-2 Yogyakarta dan salah seorang pendiri UGM.
Versi I:
BPH Notokusumo menemui HB II untuk menyampaikan proposal dari pemerintah kolonial Inggris untuk menyerahkan tahta kepada Adipati Anom dan meminta maaf kepada Inggris atas insiden pembunuhan Danureja II yang dilakukan menurut perintahnya dengan kompensasi Inggris memberi amnesti kepada Sultan. Sultan juga meminta agar sikapnya jangan dipublikasikan. Sultan menyambut sendiri kedatangan Raffles ke Yogyakarta dan mengadakan jamuan kenegaraan.
Konflik dan intrik berdarah ternyata tidak berhenti. Kondisi yang berbalik seratus delapan puluh derajat ini menyebabkan Adipati Anom menjadi ketakutan. Kali ini konflik turut menyeret
Kasunanan Surakartadan
Kadipaten Mangkunagaran. Setelah ibundanya ditahan oleh Sultan Sepuh karena dianggap ikut memengaruhi Adipati Anom, Adipati Anom bekerja sama dengan Kapten Tan Jin Sing menemui John Crawford, residen Inggris untuk Yogyakarta. Dari hasil pertemuannya Crawford dalam suratnya kepada Raffles mengusulkan Adipati Anom diangkat lagi menjadi sultan. Dalam surat itu pula Notokusumo diusulkan menjadi
Pangeran Merdika. Akhirnya diusulkan Raffles datang ke Yogyakarta dengan membawa pasukan untuk berperang.
Versi II:
Segera setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda-Prancis kepada Inggris, Hamengkubuwana II kembali mengambil alih tahta dari putranya. Kepada pemerintah Inggris Sultan mengusulkan beberapa tuntutan, di antaranya, pembayaran kembali uang ganti rugi daerah pesisiran yang diambil Belanda, Penyerahan makam-makam leluhur, dan diserahkannya Pangeran Natakusuma dan putranya Natadiningrat.
Oleh Raffles HB II dibiarkan dalam kedudukannya dan bahkan diperkuat kedudukannya. Tuntutan Sultan untuk membebaskan kedua kerabatnya dipenuhi. Sebaliknya HB II diminta untuk membubarkan Angkatan Bersenjata Kasultanan. Akibat campur tangan Inggris terlalu jauh dalam urusan istana, HB II segera mengadakan perundingan dengan Sunan
Pakubuwono IVuntuk melepaskan diri dari Inggris. HB II secara terang-terangan menentang Inggris dengan menolak pembubaran pasukannya dan justru memperkuat pertahanan di istana serta menambah jumlah milisi bersenjata. Natakusuma dan Kapten Tan Djiem Sing-lah yang memberi tahu kepada Inggris segala rencana Sultan.
Dan akibatnya pada
18 Juni 1812, pasukan Inggris bersenjata lengkap dipimpin Admiral Gillespie mengepung Kraton Yogyakarta, dibantu oleh
Legiun Mangkunegaran di bawah komando Pangeran Prangwedana. Gillespie segera mengirim ultimatum kepada HB II untuk segera menyerahkan tahta pada Adipati Anom dan menjadikan BPH Natakusuma menjadi
pangeran mardika. Sultan HB II dengan tegas enggan memenuhi ultimatum. Sebuah versi lain mengemukakan mulai
18 Juni 1812 istana mulai dihujani meriam. Setelah mengepung tiga hari dan mengadakan serangan kilat pada hari terakhir, istana dapat ditaklukkan pada
20 Juni 1812. Versi lain berpendapat mulai 20 Juni 1812 keraton mulai diserang dan pada
28 Juni 1812 istana sepenuhnya dapat dikuasai Inggris. Pada tanggal itu pula Sultan HB II untuk kedua kalinya diberhentikan dan sekali lagi HB III dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta.
Akhirnya HB II ditangkap dan dibuang ke
Pulau Penang dan putra mahkotanya RM Suryo dinobatkan sebagai raja penuh bergelar Sultan Hamengku Buwono III (HB III). Peristiwa ini dikenal sebagai
GEGER SEPOYoleh orang2 Yogyakarta. (catatan: Sepoy berasal dari kata nama pasukan Inggris yg direkrut dari kaum Sepoy/Sepohi/Sepehi dari
India).
Akibat pertempuran tersebut, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat harus menerima konsekuensi, antara lain:
- Yogyakarta harus melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogankepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setiap tahunnya.
- Angkatan bersenjata Kasultanan Ngayogyakarta diperkecil menjadi hanya beberapa kesatuan tentara keamanan keraton saja.
- Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo, saudara tiri HB II yang berjasa mendukung Inggris, dan diangkat menjadi Pangeran Adipati Paku Alam I.
Berdasarkan point (3) di ataslah, kemudian Pangeran Notokusumo dinobatkan menjadi Gusti Pangeran Adipati
Paku Alam I pada
29 Juni 1813, menyusul
Political Contract 17 Maret 1813 antara Residen Inggris John Crawford dan Pangeran Notokusumo, yg isinya antara lain:
- BPH Notokusumo diangkat sebagai Pangeran Mardika di bawah Kerajaan Inggris dengan gelar Pangeran Adipati Paku Alam I
- Kepadanya diberikan tanah dan tunjangan, tentara kavaleri, hak memungut pajak, dan hak tahta yang turun temurun.
- Tanah yang diberikan meliputi sebuah kemantren di dalam kota Yogyakarta (sekarang menjadi wilayah kecamatan Pakualaman) dan daerah Karang Kemuning (selanjutnya disebut Kabupaten Adikarto) yang terletak di bagian selatan Kabupaten Kulon Progo sekarang.
Selain memerintah kadipatennya sendiri, Paku Alam I juga merangkap sebagai wali Sultan
Hamengku Buwono IV yg naik tahta di usia 10 tahun pada tahun
1814 sepeninggal ayahnya HB III yg memerintah secara singkat selepas ontran-ontran di Kraton Yogyakarta. Paku Alam I berbagi tugas dengan GKR Ageng dan GKR Kencana, nenek dan bunda Sultan, serta Patih Danurejo IV. PA I mengundurkan diri sebagai wali Sultan pada tahun
1820. Ketika
Hamengku Buwono V dinobatkan pada usia 3 tahun menggantikan ayahnya Hamengku Buwono IV yg wafat di usia 19 tahun pada tahun
1823, Paku Alam I sudah tidak lagi diikutkan pada perwalian raja tersebut.
Setelah memerintah selama sekitar 16 tahun Paku Alam I wafat pada tahun
1829 dan dimakamkan di
Kotagede, Yogyakarta. Pendiri Kadipaten Pakualaman ini meninggalkan 11 putra-putri, dan digantikan tahtanya oleh putranya, RT Notodiningrat (Pangeran Suryaningrat), dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Suryaningrat pada
18 Desember 1829. Baru setelah menandatangani
Politiek Contract 1831-
1832-
1833 dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda, dia dikukuhkan menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (KGPA)
Paku Alam II.
Paku Alaman juga dilengkapi dengan sebuah legiun tetapi tidak pernah menjadi legiun tempur yang besar karena selanjutnya hanya berfungsi sebagai seremonial dan pengawal pejabat Kadipaten.